Dalam beberapa tahun terakhir ini, perbincangan mengenai politik memang tidak lagi menjadi barang mewah yang hanya dimiliki oleh elit politik, para intelektual, pemerintah, dan mahasiswa. Sekarang, semua orang bisa ngobrol soal politik. Kini berbagai lapisan masyarakat dengan mudah mengekspresikan apa yang kemudian menjadi opini mereka dan mungkin tanpa memikirkan persoalan mengenai tepat atau kelirunya pendapat mereka. Dalam konteks politik, media sosial kita saat ini seolah menjadi ruang publik yang teramat sehat untuk mengekspresikan apa saja yang ingin kita kemukakan.
Jurgen Habermas, filsuf Jerman pernah menggagas sebuah konsep yang dinamakan Public Sphare, istilah ini mengacu pada tempat atau ruang publik di mana semua orang dapat saling berpendapat dan berargumen tentang apa saja, terlebih soal politik. Dengan harapan, semua persoalan yang terjadi di tengah masyarakat dapat dibicarakan secara langsung dan dicarikan solusinya secara bersama — sama. Namun pada realitasnya, ruang publik yang dikonsepsikan Habermas ternyata tak sungguh — sungguh hadir dalam media sosial kita saat ini. Dunia maya seakan susah sekali dikontrol, ada begitu banyak sekali subjek — subjek tak beridentitas, dan orang menjadi mudah sekali berubah pikiran sesuai beragam kondisi politik yang menyertainya. Hal ini antara lain disebabkan oleh pilihan politik yang fanatik dan rasa takut akan kekalahan. Politik seolah menjadi mesin pabrik yang menciptakan ketakutan — ketakutan yang kemudian pada gilirannya membuat kita saling membenci, mencaci — maki, dan sebuah luapan emosi yang tak terkendali. Media sosial kemudian menjadi ruang publik yang banyak melahirkan subjek — subjek jahat.
Begitulah fakta yang terjadi dalam media sosial kita hari ini. Orang menjadi mudah dalam membenci satu sama lain berdasarkan alasan — alasan yang kadang tidak rasional. Sikap fanatisme politik, yang sebenarnya tidak diperlukan adalah awal dari segala tindakan immoral itu. Kebaikan dan kejahatan menjadi semakin absurd dan remang — remang akibat mesin dogmatik yang kemudian bisa kita namakan politik kebencian.
Maka dari itu, yang kemudian menjadi harap saya adalah kita hanya perlu bersikap lebih bijak dalam berpolitik, tak perlu bermanuver secara berlebihan. Apalagi sampai harus memainkan isu — isu tak jelas macam anti-ulama, pro-komunis, islamis, dan lain sebagainya, ribet.
Kita perlu membangun demokrasi yang sehat, suatu keterbukaan yang dinamis dan dapat menuntun kita menuju perubahan yang signifikan. Ikutilah hati nurani, jangan bawa — bawa emosi untik hal — hal yang menyangkut kepentingan bersama. Karenanya, media sosial kita harus dimurnikan dari subjek — subjek immoral yang dapat membuat suasana politik menjadi semakin gaduh.